Selasa, 25 November 2025

Di Balik Riuh Perdebatan: Sebuah Surat untuk Guru


Zaman telah bergulir begitu cepat, membawa kita pada masa segala sesuatu diukur, dinilai, dan diperdebatkan bahkan untuk sebuah ketulusan yang bernama "pengabdian."

Hari Guru, yang sejatinya adalah momen hening untuk menundukkan kepala mengenang jasa, kini berubah menjadi medan pertempuran opini yang memekakkan telinga. Di media sosial, suara-suara itu bersahutan tak kenal ampun.

Ada yang berteriak lantang, "Stop normalisasi hadiah! Itu membebani!" Ada yang membalas dengan sengit, "Ini bentuk kasih sayang kami! Jangan atur rasa terima kasih kami!" Ada pula yang menyindir pedih, "Kenapa hanya wali kelas yang dirayakan? Bukankah semua guru mendidik anakmu?" Hingga ancaman dingin yang membuat nyali ciut, "Hati-hati, hadiah itu bisa jadi gratifikasi. Guru bisa terjerat hukum."

Tahu kah kita siapa yang paling terluka di tengah riuh rendah perdebatan ini?

Bukan orang tua yang dompetnya tebal, bukan pula pengamat pendidikan yang pandai bicara. Yang paling terluka adalah mereka yang berdiri diam di depan papan tulis: Para Guru.

Bayangkan perasaan mereka. Pagi hari mereka berangkat dengan niat suci mencerdaskan kehidupan bangsa, namun sesampainya di sekolah, mereka dihadapkan pada situasi yang tak pernah mereka minta.

Takut menerima setangkai bunga dari murid kecilnya, khawatir itu dianggap gratifikasi. Takut melihat tumpukan kado di meja rekan sebelahnya, sementara mejanya sendiri kosong, khawatir itu dianggap sebagai bukti ia tak dicintai. Takut tersenyum menerima ucapan terima kasih, khawatir dituduh mengharapkan pamrih.

Percayalah, demi Tuhan yang membolak-balikkan hati, para jiwa yang mengabdikan seluruh raganya di ruang kelas itu sama sekali tidak pernah meminta kado-kado mewah itu.

Di dalam benak mereka saat memilih jalan sunyi ini, tak terlintas sedikit pun bayangan tentang hampers mahal, buket uang, atau sanjungan berlebihan. Yang ada di benak mereka hanyalah wajah-wajah polos anak didik. Yang ada di doa malam mereka hanyalah harapan agar muridnya bisa lancar membaca, berhitung, dan tumbuh menjadi manusia yang beradab.

Guru tidak butuh perdebatan tentang siapa yang paling benar dalam memberi apresiasi. Karena bagi seorang pendidik sejati, "hadiah" termahal bukanlah barang yang bisa dibungkus kertas kado. Hadiah termahal bagi mereka adalah ketika sepuluh atau dua puluh tahun lagi, murid yang dulu nakalnya luar biasa, datang kembali berdiri tegak di hadapannya sebagai manusia sukses yang berakhlak mulia, lalu menyapa dengan santun: "Bapak/Ibu, terima kasih. Saya jadi seperti ini karena kesabaran Anda dulu." Itulah emas permata bagi seorang guru.

Kelak, ketika riuh rendah perdebatan ini mereda dan hari berganti bulan, bunga-bunga ucapan itu pasti akan layu. Kado-kado indah itu akan usang dimakan waktu. Namun, di sudut ruang kelas yang sunyi, saat bel pulang telah berbunyi dan sekolah kembali sepi, sang Guru akan tetap duduk di sana.

Ia akan menatap kursi-kursi kosong bekas kalian duduk, dengan rambut yang semakin memutih dan tenaga yang perlahan surut. Di saat itulah ia menyadari satu kebenaran yang paling sunyi:

"Anak-anakku, aku tidak butuh hadiahmu untuk membuktikan bahwa aku berharga. Sesungguhnya, kalianlah hadiah itu."

2 komentar: