Zaman telah bergulir begitu cepat, membawa kita pada masa segala sesuatu diukur, dinilai, dan diperdebatkan bahkan untuk sebuah ketulusan yang bernama "pengabdian."
Hari Guru, yang sejatinya adalah momen
hening untuk menundukkan kepala mengenang jasa, kini berubah menjadi medan
pertempuran opini yang memekakkan telinga. Di media sosial, suara-suara itu
bersahutan tak kenal ampun.
Ada yang berteriak lantang, "Stop
normalisasi hadiah! Itu membebani!" Ada yang membalas dengan sengit, "Ini
bentuk kasih sayang kami! Jangan atur rasa terima kasih kami!" Ada
pula yang menyindir pedih, "Kenapa hanya wali kelas yang dirayakan?
Bukankah semua guru mendidik anakmu?" Hingga ancaman dingin yang
membuat nyali ciut, "Hati-hati, hadiah itu bisa jadi gratifikasi. Guru
bisa terjerat hukum."
Tahu kah kita siapa yang paling
terluka di tengah riuh rendah perdebatan ini?
Bukan orang tua yang dompetnya tebal,
bukan pula pengamat pendidikan yang pandai bicara. Yang paling terluka adalah
mereka yang berdiri diam di depan papan tulis: Para Guru.
Bayangkan perasaan mereka. Pagi hari
mereka berangkat dengan niat suci mencerdaskan kehidupan bangsa, namun
sesampainya di sekolah, mereka dihadapkan pada situasi yang tak pernah mereka
minta.
Takut menerima setangkai bunga dari
murid kecilnya, khawatir itu dianggap gratifikasi. Takut melihat tumpukan kado
di meja rekan sebelahnya, sementara mejanya sendiri kosong, khawatir itu
dianggap sebagai bukti ia tak dicintai. Takut tersenyum menerima ucapan terima
kasih, khawatir dituduh mengharapkan pamrih.
Percayalah, demi Tuhan yang
membolak-balikkan hati, para jiwa yang mengabdikan seluruh raganya di ruang
kelas itu sama sekali tidak pernah meminta kado-kado mewah itu.
Di dalam benak mereka saat memilih
jalan sunyi ini, tak terlintas sedikit pun bayangan tentang hampers mahal,
buket uang, atau sanjungan berlebihan. Yang ada di benak mereka hanyalah wajah-wajah
polos anak didik. Yang ada di doa malam mereka hanyalah harapan agar muridnya
bisa lancar membaca, berhitung, dan tumbuh menjadi manusia yang beradab.
Guru tidak butuh perdebatan tentang siapa yang
paling benar dalam memberi apresiasi. Karena bagi seorang pendidik sejati,
"hadiah" termahal bukanlah barang yang bisa dibungkus kertas kado. Hadiah
termahal bagi mereka adalah ketika sepuluh atau dua puluh tahun lagi, murid
yang dulu nakalnya luar biasa, datang kembali berdiri tegak di hadapannya
sebagai manusia sukses yang berakhlak mulia, lalu menyapa dengan santun: "Bapak/Ibu,
terima kasih. Saya jadi seperti ini karena kesabaran Anda dulu." Itulah
emas permata bagi seorang guru.
Kelak, ketika riuh rendah perdebatan ini mereda
dan hari berganti bulan, bunga-bunga ucapan itu pasti akan layu. Kado-kado
indah itu akan usang dimakan waktu. Namun, di sudut ruang kelas yang sunyi,
saat bel pulang telah berbunyi dan sekolah kembali sepi, sang Guru akan tetap
duduk di sana.
Ia akan menatap kursi-kursi
kosong bekas kalian duduk, dengan rambut yang semakin memutih dan tenaga yang
perlahan surut. Di saat itulah ia menyadari satu kebenaran yang paling sunyi:
"Anak-anakku, aku
tidak butuh hadiahmu untuk membuktikan bahwa aku berharga. Sesungguhnya, kalianlah
hadiah itu."







Sangat mantaps pak Fadli dan sangat setuju, saya terharu membacanya
BalasHapusTerima kasih, Bu
Hapus